Langsung ke konten utama

Sumber Daya Manusia : Data Raksasa untuk Merekrut Karyawan

Oleh : Andreas Maryoto
Kompas, Jumat, 4 Mei 2018 : 17

Ketika perusahaan Anda masih merasa diburu dan dibutuhkan pelamar kerja, maka Anda biasa terperangkap. Risiko paling fatal, mendapat kandidat yang tidak berbakat.

Perekrutan karyawan harus diakui, “dirusak” oleh industri digital yang lebih yang lebih efisien dan mengenalkan cara perekrutan yang cepat dan menarik bagi calon karyawan. Pelamar berbondong-bondong mengantre masuk ke industridigital, sementara perusahaan mapan mulai ditinggal.

Diskusi tentang perekrutan sumber daya manusia korporasi dan cara menarik mereka bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga di sejumlah negara. Cara perekrutan menjadi topik teratas di sejumlah perusahaan.

Selama ini,perusahaan-perusahaan mapan menunggu para pelamar. Bahkan, dikesankan, untuk masuk perusahaan itu sangat sulit. Kini,orang mudah mendapat informasi pekerjaan dan mudah pula mengirim lamaran pekerjaan. Hanya perusahaan yang membuat strategi baru yang mampu menjaring calon-calon bertalenta. Salah satu kuncinya, urusan perekrutan kini bukan hanya urusan departemen sumber daya manusia. Namun menjadi sejumlah departemen, terutama departemen pemasaran.

Marc Havercroft, seorang ahli dibidang strategi sumber daya manusia, mengatakan, perekrutan zaman sekarang merupakan bagian daripemasaran digital. Di dalamnya merupakan integrasi dari merek, keahlian sosial, teknologi, dan pemasaran. Prinsipnya tidak lagi menunggu, tetapi berburu.

Ia menyarankan, ada beberapa pertanyaan bagi perusahaan yang ingin mendapatkan pelama berbakat. Apakah orang-orang yang ditarget mengetahui bahwa perusahaan Anda tengah berkibar ? Apakah pekerjaan yang ditawarkan benar-benar siap jika nanti calon mencari kemudian melamar ? Apakah laman dan media sosial mudah digunakan untuk berkomunikasi ? Apakah perusahaan Anda masuk papan atas jika nanti kandidat berkarier di tempat Anda ?

Apabila semua pertanyaan itu terjawab, maka perusahaan siap untuk merekrut. Perusahaan harus bersikap sebagai penjual dan melakukan penawaran. Mereka yang sigap dan cepat merespons lamaran kandidat akan cepat mendapatkan yang terbaik. Pelamar tidak lagi menunggu. Perusahaan yang cenderung lambat merespons akan ditinggalkan para pelamar. Proses yang lambat bisa menjadi indikasi kondisi perusahaan yang lamban. Pelamar langsung berpindah ke perusahaan lain.

Ketika perusahaan menerima lamaran,mereka tidak bisa menduga-duga saat memilih kandidat yang bisa mengikuti tes. Di sisi lain, dengan pelamaryang melimpah, maka perusahaan tidak bisa cepat untuk menyeleksi. Sebuah survei menyebutkan,95 persen dari 1.500 responden bagianperekrutan mengalami stres karena harus bertindak cepat, tetapi juga harus mendapatkan kandidat terbaik.

Tulisan di Business Harvard Review menyebutkan, ada seorang konsultan yang menyarankan, rekomendasi dari karyawan di dalam perusahaan bisa menjadi pertimbangan untuk memilih calon diantara puluhan ribu lamaran sehingga lebih cepat dalam seleksi. Meskipun pasti akan memunculkan bias dan bisa-bisa perusahaan berisi karyawan yang homogen.

Salah satu fasilitas yang kini mulai digunakan adalah teknologi analisis data yang bisa secara cepat melakukan pemeriksaaan awal surat lamaran, mengecek dokumen-dokumen dan mengombinasikan dengan data raksasa yang dimiliki. Bahkan, teknologi ini mampu menghadirkan kandidat-kandidat dengan pekerjaan  yang dibutuhkan.

Cara kerja teknologi analisis data tidak rumit. Teknologi ini akan melacak berbagai kata dan istilah di dalam lamaran dan dokumen dan secara otomatis akan mencocokkan dengan data raksasa perusahaan.

Mereka yang pernah menggunakan teknologi ini mengaku bisa mendapatkan kandidat yang sesuai.  Perusahaan juga makin kompetitif karena mendapatkan karyawan yang sesuai dalam waktu cepat. Teknologi yang berbasis kecerdasan buatan akan semakin pintar ketika masukan yang diberikan semakin banyak sehingga data raksasa dipenuhi dengan berbagai informasi yang akurat, termasuk spesifikasi karyawan yang dibutuhkan tiap-tiap bidang atau industri.

Kredit foto : Miroslav Vajdić

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Melacak Penyebab Ribuan Sarjana Menganggur di Indonesia Tak Kunjung Dilirik Perusahaan

Oleh : Adi Renaldi | 10 September 2018 Kalau kamu termasuk sarjana baru yang sampai detik ini meratapi nasib gara-gara tak ada panggilan kerja meski ratusan surat lamaran sudah dikirim ke perusahaan, tenang saja, kamu tidak sendirian.  Hasil survei dari Willis Towers Watson yang dilakukan sejak 2014 hingga 2016 menyebutkan delapan dari sepuluh perusahaan di Indonesia kesulitan mendapatkan lulusan perguruan tinggi dalam negeri siap pakai. Padahal, jumlah lulusan perguruan tinggi di Indonesia setiap tahunnya mencapai 250 ribu orang. Ironisnya lagi, pertumbuhan jumlah perusahaan di Indonesia termasuk pesat dalam beberapa tahun terakhir. Dalam satu dekade terakhir, ada 3,98 juta perusahaan baru muncul di Tanah Air. Itu berarti setidaknya setiap tahun bermunculan 398.000 perusahaan rintisan. Kini total perusahaan di Indonesia mencapai 26,71 juta berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) sepanjang 201. Erry Hadisto termasuk satu dari ribuan lulusan strata 1 yang terpaksa menga

Jangan Remehkan Baca Buku, Begini CEO Speee Hadapi Revolusi Digital

Oleh : Mega Fransisca Seberapa banyak buku yang kamu baca dalam setahun? Kalau saya, jujur, hanya dua buku dalam setahun. Hideki Otsuka Jawaban CEO Speee Inc., Hideki Otsuka, atas pertanyaan saya mengenai hobinya baca buku menarik perhatian saya. Ratusan buku ia lahap dalam setahun. Saya pun teringat dengan sebuah kutipan, “All leaders are readers”. Otsuka adalah CEO Speee Inc., perusahaan induk dari Job-Like.com. Speee Inc. beroperasi di Tokyo, Jepang, sebagai perusahaan Web Marketing sejak 2007. Beberapa waktu yang lalu, Otsuka bertandang ke Jakarta untuk bertemu kami di kantor Job-Like.com. Saya pun berkesempatan untuk berbincang dengannya. Adanya fasilitas perpustakaan di area Event Space, di kantor Speee di Tokyo membuat saya penasaran mengenai “keterikatan” dirinya dengan buku. Saya pun melontarkan pertanyaan mengapa ia getol membaca buku. Mendengar pertanyaan saya, ia tertawa. Menurutnya, buku menjadi senjata pamungkas untuk melahirkan ide

Efek Disrupsi, Mungkinkah Kembali ke Desa?

Oleh : Rhenald Kasali Pendiri Rumah Perubahan; Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia KOMPAS.COM, 30 April 2018 Saya baru saja meninggalkan kawasan pedesaan yang dipenuhi kebun-kebun anggur yang indah di Tuscany, Italia. Kawasan seperti ini tiba-tiba menjadi lapangan kerja baru, menyusul upaya Uni Eropa untuk kembali ke desa. Menyeberang ke Porto, guide saya, calon dokter dari Lisbon bercerita tentang mundurnya perekonomian dan lapangan pekerjaan di Portugal. Sambil menarik nafas dalam, ia menyampaikan, kekasihnya harus pindah ke Brazil untuk mendapatkan pekerjaan. “Di Portugal..” ujarnya. “Lebih dari 40 persen kaum muda sudah pindah untuk bekerja ke luar negeri,” tambahnya. Itu sebabnya, Uni Eropa sudah berkomitmen menyalurkan 100 miliar Euro dana desa selama 6 tahun (2014-2020) untuk membangun pertanian dan ekologi. Kembali ke Desa Tetapi Indonesia lebih serius. Memang bukan karena ancaman disrupsi, tapi hampir pasti disruption akan memasuki tahap t